Surat Terbuka untuk Rauf dan Hera

Memang hanya Om Prab, Lik Wiwi dan Pakde Beye aja yang mendapat surat terbuka?

Dear Rauf dan Hera,
Malah jadi bingung mau nulis apa buat kalian. Kalian hebat, 5 tahun menghadapi kebandelanku. Ingat ketika 5 tahun yang lalu, ketika masih malu-malu menginjakkan kaki di kampus kuning? Ketika aku dan kamu tak saling kenal. Ketika aku main dengan mereka dan kalian juga bersama teman-teman kalian. Dulu aku, mungkin kalian juga, tak mengira kalau malam ini bakal tidur bertiga. Ah tapi kali ini aku tak akan menye-menye mengingat masa lalu.
Seminggu, sebulan atau setahun lagi mungkin kita belum tentu bisa tidur bertiga seperti ini. Hmm selama 5 tahun kita kenal pun, jarang untuk bermalam bersama. Malam ini kita berkumpul, tapi kita larut dengan diri kita masing-masing. Aku dengan tulisanku dan kalian yang lelah karena perjalanan hari ini. Harusnya kan kita bercerita sampai pagi. Ah kita melewatkan malam ini teman.
Setelah ini, kita mungkin akan berpisah. Kita akan mengejar mimpi kita masing-masing. Mungkin 5 atau 10 tahun lagi kita akan bertemu lagi, disebuah cafe sambil haha hihi mengingat masa lalu. Tapi apakah sebelum itu kita akan jalan sendiri-sendiri? Semoga saja tidak.
Ingat sekali ketika aku malas mengerjakan skripsi, kalian ada untuk memotivasi. Ketika aku rewel dengan birokrasi pendaftaran yudisium, kalian sabar meladeni. Namun setelah ini?
Sebelum kita lupa dengan ambisi mengejar mimpi, aku mau bilang kalau kalian teman terbaik. Kita ada bukan hanya untuk malam ini. Malam ini adalah awal kita semakin erat.
Selamat tidur teman-temanku.

Kamar Hera, 17 Juli 2014

(Jangan) Paksa Saya Bermain Boneka

Jangan dikira sebagai perempuan, saya suka boneka!

Sewaktu TK saya punya sahabat namanya Yudha. Rumahnya di samping rumah Eyang. Sayang Yudha tidak lama tinggal di sana karena keluarganya hanya mengontrak. Setelah Yudha pergi, saya bermain dengan Feri, Mas Ari, Mas Soni dan Tri. Ya semuanya teman saya laki-laki.

Dengan mereka saya senang bermain gundu maupun adu gambar. Uang saku saya, saya sisihkan untuk membeli gundu atau gambar. Saya juga beberapa kali punya yoyo walau tak lama setelah beli pasti talinya kusut. Pada musim kemarau, saya senang bermain layangan. Jangan dikira saya bisa main layangan, lebih tepatnya senang melihat teman-teman bermain layangan.

Saya juga punya teman perempuan. Namanya Nurul, Juni dan Dek Ita. Saya bermain dengan mereka kalau mereka bermain gundu atau gambar. Kalau mereka bermain masak-masakan atau anak-anakan, saya memilih bermain dengan teman saya yang lelaki. Masakan dan anak-anak mereka bohong-bohongan, saya lebih senang dengan anak laki-laki yang tidak bermain bohong-bohongan.

Ngamen atau Malak sih?

Pulang dari UNY, saya, Hera dan Rauf janjian untuk ketemu di 0 km. Kamis 5 Juni 2014, kami memang niat untuk jalan-jalan ke museum dengan naik Trans Jogja. Rauf yang baru bisa berangkat jam 12.00 dari rumahnya, tidak ikut naik Trans Jogja. Aku dan Hera menitipkan motor di depan Kantor POS, baru naik Trans Jogja.
Singkat cerita, aku sama Hera menunggu di depan Monumen 1 Maret. Belum lama kami duduk, sekelompok pengamen menghampiri kami. Saya sudah melambaikan tangan, menolak pengamen tersebut. Tapi mereka tetap menyanyi. Kami memang malas untuk member mereka, hahaha gak punya duit receh cyin.
“Kalau uangnya besar, nanti ada kembalian kok Mbak,” kata salah satu pengamen.
Aku keluarkan uang Rp. 10.000,00. Ada itikat untuk tidak mengembalikan dari mereka. Kemudia saya bilang untuk naik Trans Jogja lagi. Akhirnya mereka mengembalikan Rp. 5000,00. Bukan nominalnya yang saya sesalkan, tapi cara mereka yang seperti memalak itu.
Ternyata ini bukan pengamen pertama yang menghampiri kami. Setelah Kami bertemu Rauf, ada sekelompok pengamen lagi. Dua kelompok malah. Caranya sama, walaupun melambaikan tangan tetap saja mereka menunggu. Males “dipalak” lagi, kami memakai trik pindah tempat duduk sambil cuekin mereka.
Saya sebagai wisatawan lokal saja merasa risih. Niat wisatawan atau masyarakat untuk menikmati daerah 0km tentunya tertanggu dengan oknum-oknum yang seperti ini. Beberapa minggu yang lalu saya pernah mengajak teman dari Bali ke 0 km dan beberapa tempat wisata di seputar Kraton. Darinya saya tau kalau di Bali ternyata pengamen maupun pengemis bisa dikendalikan. Mungkin dia juga merasa risih ketika saya ajak ketempat wisata dan bertemu pengamen maupun pengemis.
Untuk mendatangkan wisatawan berkunjung, menurut saya bukan hanya ditunjang dari segi infrastruktur saja. Sumber daya manusia juga patut diperhatikan. Pengelolaan kepada sumber daya manusia untuk mendukung infrastruktur pariwisata, akan mendukung pertumbuhan pariwisata. Misalnya saja soal pengamen. Pembekalan mengenai menampilkan karyanya dirasa perlu, begitu juga etika ketika bertemu masyarakat. Pendataan kepada siapa saja yang mengamen disana juga bisa dilakukan untuk meminimalisir tindak kriminal.

#selapannulis

Anak Laki-Laki Mama

Anak kecil dalam bingkai di salah satu sudut rumah saya begitu lucu. Usia anak itu belum genap 3 tahun. Sepertinya dia habis mandi, bedak masih jelas menempel di wajahnya. Rambutnya disisir dengan poni samping. Baju terusan yang dikenakannya berenda dengan warna susun 3, yang paling atas merah, hijau, hitam dan yang paling bawah putih. Tapi bukan bahagia yang tersirat dari wajah di foto itu, sebuah keterpaksaan terlihat dari matanya yang berkaca-kaca.
Saya pernah lucu. Ku pandangi sekali lagi foto di salah satu sudut rumah saya.
Ketidakpatuhan saya kepada “seharusnya perempuan itu” sudah sejak kecil. Salah satunya adalah dengan memakai rok. Saya yang terlahir perempuan tak mau mengenakan rok, seperti seharusnya anak perempuan lain. Sering mama cerita kalau saya nangis jika dipakaikan rok jadi mama jarang membelikan rok.
Sampai sekarang, saya hanya punya rok hanya untuk kepentingan sekolah saja. Sudah sejak SD rok saya sering sobek. Sobek karena saya buat manjat pohon atau main sepedaan dengan teman laki-laki saya. Itu rok panjangnya hanya selutut.
Ketika SMP, saya harus mengenakan rok panjang karena siswi di SMP saya semua pakai pakaian muslim (walaupun sekolah negri). Mampus ini. Apa yang terjadi? Saya kesrimpet saudara-saudara. Malu saya. Belum lagi bagian bawah rok yang selalu kena oli rantai sepeda. Kejadian serupa juga sering menimpa saya ketika SMA. Saya boros kalau pake rok.
Nah sekarang saya masih mencari akal untuk wisuda nanti agar tidak memakai rok. Mungkin anda ada usul?

#7dinangimcil

Cerita Cucu Pertama

      

            8 Januari 1992 menjadi permulaan pengalaman baru Trah Cipto Wardoyo. Setelah si jabang bayi yang hampir 10 bulan betah di perut mamanya itu lahir, dari eyang sampai om dan tante pun ikut heboh. Maklum, cucu pertama.

            Cerita ini saya rangkum dari berbagai sumber yang dapat dipercaya. Cerita ini sering saya dengar ketika ada kumpul keluarga. Nostalgia dengan pengalaman mereka, sementara saya hanya bisa haha hihi saja.Sebagian besar cerita mereka itu ketika usia saya belum genap 5 tahun, sehingga banyak yang tidak saya ingat.

  1. Cerita Mama

            Sebagai orang yang berperanbesardalamkelahiransaya, mama sering cerita tentang proses kelahiran saya yang konon susahnya minta ampun. Karena badan saya yang lumayan besar (bb: 3,6 Kg) dan bandelnya saya yang nggak mau keluar, persalinan mama harus dibantu dengan vacum. Saya belum kebayang bagaimana bentuk vacum yang membantu kelahiran saya. Tapi kata mama, kurang lebih cara kerjanya seperti vacum cleaner. Yang membedakan adalah yang disedot itu kepala saya. Alhasil ketika lahir, kepala saya berbentuk seperti mangga (wes rasah dibayangke). Kalau dipegang, sekarang kepala saya bagian kiri tidak rata.

            Sebagai ibu yang baik, mama menginginkan yang terbaik buat saya. Agar badan saya wangi, mama memberi saya baby oil. Hahaha emang kulit ndeso ya, bukannya wangi yang didapat tapi malah alergi. Hasilnya punggung saya luka. Pemberian baby oil pun diberhentikan.

  1. Cerita Eyang

           Eyang kakung adalah orang yang paling sering saya dengar ceritanya. Selain cerita jaman penjajahan, eyang suka sekali menceritakan masakecil saya. Dulu eyang masih cukup kuat untuk mengasuh saya. Ketika saya ditinggal mama dan papa kerja, saya di rumah dengan eyang dan Bulik Ni.

           Bibit caper saya mungkin sudah tertanam sejak kecil. Ketika kawan-kawan eyang berkunjung kerumah (waktu itu masih tinggal dengan eyang), saya yang masih menggunakan gledekan buat latihan jalan (keluarga saya menyebutnya apolo) selalu hilir mudik menghampiri mereka. Kalau ketemu kawan-kawan eyang pasti komennya sama, “iki to sing ndisik nanggo gledekan? (inikan yang dulu pakai gledekan?)”.

           Kata eyang, aku dari dulu memang doyan makan. Apapun yang dimakan eyang pasti saya lahap juga. Sampai suatu saat eyang makang rowol. Growol adalah makanan khas Kulon Progo yang baunya seperti eek kucing. Seperti biasa eyang selalu mau berbagi makanannya dengan saya. Ah tapi, ampun deh. Ini satu-satunya makanan yang tidak pernah saya makan lagi dengan eyang.

           Cerita dengan eyang, tidak habis dibahas dengan 3 paragraf saja.Untuk itu cerita yang lainnya, rencananya ada 1 tulisan yang akan saya dedikasikan untuk eyang.

  1. Cerita Bulik Ni

            Bulik Ni adalah adik mama yang pertama. Beliau adalah orang yang juga banyak tahu tentang saya selain eyang. Bulik Ni, yang mengajarkan saya senang di luar rumah.

            Karena Bulik Ni tidak bekerja, jadi beliau yang sering mengajak saya jalan-jalan ketika mama kerja. Nggak jauh sih jalan-jalannya, paling ke rumah tetangga atau tukang sayur. Sikap mama yang protektif terhadap saya, melarang Bulik Ni untuk mengajak saya main tanah. Ketika itu saya belum bisa jalan. Kata seorang tetangga, saya harus dibiasakan menginjak tanah. Biar cepat jalan juga. Bulik Ni akhirnya membiarkan saya main tanah, tak lama kemudian saya bisa jalan. Haha entah ini berkat tanahnya atau emang sudah waktunya bisa jalan. Setelah kejadian tersebut, Bulik Ni sering membiarkan saya bermain tanah. Trik untuk mengelabui mama adalah sebelum mama pulang, saya sudah dimandikan.

 

            Sebenarnya masih ada narasumber lainnya. Seperti Bulik Ti yang selalu memanjakan saya dengan mengajak saya belanja. Om Didik yang salah memberikan obat yang seharusnya 1/8 menjadi setengah. Dan Om Agung yang sering mengajak saya bermain layangan dan membuatkan lampion untuk takbiran. Tapi Mama, Eyang dan Bulik Ni yang punya banyak cerita tentang saya. Sering geli sendiri mendengar cerita dari mereka.

 

Tulisan 1 #7dinangimcil

MOTOR BLOMBONGAN, BUKAN JAMANNYA LAGI!

Acara #SelapaNulis yang diadakan oleh Padakacarma ternyata mampu mengaktifkan blog-blog anggotanya yang mungkin sudah berdebu. Saya senang ketika teman-teman Padakacarma mention tulisan mereka ke akun twitter saya. Satu artikel yang akhirnya menggelitik saya untuk membalasnya. Artikel milik Imas di imasindra.tumblr.com yang berisi tentang kampanye di jalanan.

Pada artikelanya, Imas menuliskan tentang kampanye dan perubahan karakteristik masyarakat Jogja. Perubahan tersebut adalah masyarakat Jogja sudah menjadi masyarakat industrialis sehingga tidak bisa menikmati waktunya. Dalam tulisan tersebut dipaparkan bagaimana seseorang selayaknya bersikap adil terhadap oknum-oknum yang kampanye dengan motor blombongan dan mengganggu. Imas menyarankan untuk “menikmati” pertunjukan jalanan tersebut.

Menurut saya, kampanye di jalan yang kebanyakan melanggar aturan lalu lintas tidak bisa disandingkan dengan perubahan masyarakat. Pada saat sekarang, bukan jamannya lagi untuk menarik perhatian massa dengan cara konvoi motor diblombong. Cara kampanye dengan konvoi bukan lagi tontonan untuk mengenalkan partai ataupun presiden. Model kampanye seperti ini cenderung mengganggu dan tidak menimbulkan simpati.

Informasi sekarang ini mudah sekali didapat. Kecanggihan teknologi membuat masyarakat dibuat enggan ribet. Ibaratnya nongkrong di WC pun informasi sudah datang. Sekarang ini siapa sih yang tidak punya telpon genggam? Provider pun berlomba-lomba menyediakan layanan internet murah dengan akses cepat. Masyarakat semakin dibanjiri informasi.

Sudah seharusnya kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi seharusnya dimanfaatkan dengan apik dalam masa kampanye. Model kampanye dengan konvoi, tidak bisa lagi dinikmati malah terbukti mengganggu. Tujuan kampanye bukankah untuk menarik massa untuk bersimpati dan akhirnya memilih yang dikampanyekan?

#SelapanNulis

Setelah beberapa hari tidak menunaikan janji karena ribet ngurusi ujian skripsi yang mundur, sepertinya saya harus segera menulis. Untuk memulainya pun diperlukan semangat ekstra. Semangat untuk membunuh alasan yang selalu saja ada.

            Awal memulai #selapannulis semangat saya luar biasa. Berbagai tema untuk beberapa tulisan sudah saya catat. Model tulisan apa juga sudah saya rencanakan. Saya sangat optimis bisa menaklukan #selapannulis dengan mudah.

            Untuk memulai menulis, biasanya sih alasan yang sering dihadapi biasanya adalah mau nulis apa. Jika sudah menemukan tema, alasan selanjutnya mulai dari mana. Setelah itu, tulisan ini mau seperti apa. Saya sengaja menyebut itu semua bukan kendala, tetapi alasan karena menulis menurut saya adalah pekerjaan yang hanya butuh niat.

            Sering kali pertanyaan seperti paragraf di atas ditanyakan ketika saya mengisi diklat maupun ngobrol dengan teman-teman. Saya punya cara untuk mulai menulis. Pertama adalah menentukan tema. Manusia diciptakan Tuhan dengan kesempurnaan, salah satunya adalah panca indra. Dengan panca indra, kita bisa mengamati, bertanya dan mencari literature. Tiga cara yang biasa digunakan oleh jurnalis ini, biasanya saya gunakan juga untuk mencari sebanyak-banyaknya hal menarik untuk dijadikan tema tulisan.

            Cara kedua adalah memulai menulis. Cara ini saya dapatkan dari salah satu teman waktu jadi pemateri di Sekolah KACA. Jadi dari 26 huruf alfabet, pilih satu huruf. Satu huruf itu dijadikan satu kata. Nah dari kata pertama, dijadikan satu kalimat. Jadi kalau ditanya harus mulai menulis dari mana menulis? Jawabnya adalah dari huruf pertama. Artinya tidak perlu ragu untuk mulai menulis.

Beberapa hari lalu saya pernah baca twit seseorang, bunyinya seperti ini, “professional akan menciptakan mood, bukan menunggu mood”. Begitu juga dengan menulis. Kalau saya biasanya untuk menciptakan mood itu dengan BBM patner saya. Kalau tidak dengan itu, saya membaca bacaan apapun.

Kira-kira seperti itu trik menulis ala saya, Faceto. Semangat nulis, semoga #selapannulis dapat dilalui. Yuk nulis biar tidak hilang dari pusaran sejarah.

KENDALI KOPERASI DARI PASAR BEBAS

 

            Teritorial sekarang ini bukanlah sebuah halangan dalam kegiatan perekonomian. Para pemilik modal bisa menanamkan modalnya kemanapun, begitu pula para produsen. Pemilik modal seolah bisa menjadi penguasa, walau penguasa yang bernama pemerintah masih ada. Penjajahan dengan cara-cara yang berkedok pasar bebas atau kapitalisme global.

            Banyak produk-produk yang menawarkan kemudahan, keindahan dan serba instan. Pengemasan iklan yang begitu menggoda dengan banyak janji yang diobral. Fenomena seperti inilah yang menghasilkan masyarakat konsumen. Paradigma masyarakat pun berubah, status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk dengan harga mahal, dan merek yang terkenal (Paul du Gay,et al, 1997:99-102).

            Dosen FIB UI, Selu Margaretha Kushendrawati, mengungkapkan dalam artikelnya bahwa harus diakui system kapitalis global mutlak membutuhkan adanya negara berkembang untuk menjadikan sapi perahan. Sehingga ini akan menimbulkan ketimpangan antara si miskin dan si kaya.

            Namun demikian, kapitalisme global tidak bisa dielakkan lagi. Indonesia telah masuk dalam arus kapitalisme global. Akan tetapi badan usaha dalam harus mampu mempunyai kendali agar bisa masuk dalam perdangangan bebas tapi tidak tergelincir. Begitu pula dengan koperasi.

“…Koperasi yang setia pada jati dirinya, dan justru bertahan karena itu, berhasil menjawab tantangan-tantangan gloalisasi…” (Ibnoe Soedjono, 2000)

            Paradigma tentang koperasi yang merupakan tempat bagi orang kecil dan miskin harus dihapuskan. Walau dalam sejarahnya, koperasi berdiri karena rasa sepenanggungan dari gilasan para pemilik modal. Mulai dari Robert Owen (1771-1858) di Skotlandia sampai Patih R. Aria Wiria Atmaja di Purwokerto yang mendirikan sebuah bank untuk para pegawai negeri yang waktu itu banyak terjerat lintah darat.

            Rasa sepenanggungan inilah yang akhirnya menimbulkan asas kekeluargaan dalam koperasi. Saling membantu dan sama-sama bergerak untuk sejahtera. Koperasi menolak penindasan, eksploitasi dan pembodohan anggotanya. Pekerjaan dan hasil dilakukan dengann transparan. Begitulah hakikat koperasi.

            Menurut saya, koperasi bisa bertahan dari kapitalisme global dengan mempertahankan hakikatnya. Koperasi harus mempunyai cirikhas yang mampu memikat masyarakat seperti yang tertera dalam undang-undang koperasi tahun 1992 yang juga berakar dari UUD 1945 pasal 33 ayat 1.

            Masyarakat Indonesia memang mudah tergiur dengan janji-janji iklan. Tetapi koperasi Indonesia sebenarnya mempunyai kunci pokok yang merupakan sifat dasar bangsa Indonesia, seperti yang tertera dalam lambang Koperasi Indonesia. Persahabatan (rantai), kerja keras (gigi roda), kemakmuran (kapas dan padi), keadilan sosial (timbangan), kemasyarakatan (beringin), dan nasionalisme (warna merah putih). Dan yang harus dilakukan adalah mempertahankan dan meneraplan semua kunci pokok itu.

            Selain itu adalah penjaminan mutu produk yang dihasilkan koperasi. Koperasi tidak boleh lengah sedikit pun mengenai kualitas produknya. Koperasi terkadang harus turun langsung ke lapangan agar mengerti bagaimana produknya itu bermanfaat. Guna lainnya adalah agar mengerti apa yang diinginkan oleh anggota dan lingkungannya.

            Konsistensi dari generasi ke generasi juga merupakan cara menghadapi kapitalisme global. Pengetahuan akan koperasi sejatinya perlu digaungkan lagi. Salah satunya adalah dengan kunjungan ke koperasi-koperasi oleh sekolah. Stud tour atau piknik tidak harus dilakukan di tempat yang jauh dan bersifat sains. Kunjungan ke koperasi juga bisa memberikan bekal ilmu dan sekaligus memperkenalkan koperasi kepada insan pelajar. Dengan demikian, mereka bisa mengerti koperasi dari tempatnya langsung bukan hanya dari buku pelajaran.

            Sebenaranya kapitalisme global tidak haru ditakuti. Yang terpenting adalah kemampuan mengendalikan, menjadi diri sendiri, menjaga kualitas prodak serta kemampuan regenerasi. Setidaknya untuk tetap eksis dalam kapitalisme global, koperasi harus bisa memiliki 3 hal tersebut.

LUCU

Di tulisan saya ini tidak akan membahas mengenai hal-hal yang lucu atau yang berkaitan tentang humor!

 

Tadi malam teman saya bercerita. Dia rupanya sedang galau dengan pacarnya, lebih tepatnya mantan pacar. Katanya, dia baru saja diputus dengan alasan “kamu terlalu baik. Aku tidak mau nyakitin kamu”. Dia datang dalam keadaan setengah sadar. Bukan dalam pengaruh minuman kerasa ataupun narkotika, teman saya bukan seperti itu. Kalau seperti ini. artinya saya harus menyiapkan bahu buat dia.

Kalau baik kenapa diputus? Selama ini orang-orang mencari yang terbaik. Bahkan di Jawa sendiri terkenal dengan filosofi “bobot, bibit, bebet” untuk mencari pendamping yang terbaik. Kalau sayang tidak akan menyakiti. Sudah sejatinya dalam sebuah hubungan ada usaha untuk membahagiakan. Jika pasangan sedang jatuh dan sedih, semestinya ada pundak dan tangan yang menjadi sandaran. Namun pilihan untuk menyudahi hubungan agar tidak menyakiti sepertinya hanya sekedar alasan. Demikianlah yang dikatakan teman saya.

Kemudian teman saya bercerita bagaimana dia mengagumi mantannya itu. Dia cerita bagaimana dia menjaga komitmennya, karena dia ingat betapa sulitnya dulu untuk memulai berkomitmen. Suka cita yang dia rasakan ketika bersama mantannya tersebut, walau terkadang dia merasa iri dengan teman yang lain ketika memamerkan kemesraannya di sosial media. Teman saya tersenyum getir, senyum untuk memungkasi ceritanya.

Saya pikir setelah bercerita, dia akan nangis menye-menye tapi ternyata tidak. Teman saya ini malah tertawa terbahak-bahak. Heran saya melihatnya. Mungkin dia sudah sinting gara-gara putus. Dari pada dilihat orang lain, saya membawa teman saya ini masuk. “Santai Boy. Besok aku ajak kamu ke pantai,” ucap saya kepada dia. Oh iya saya belum mengenalkan siapa teman saya ini kepada anda. Teman saya itu bernama HATI.

Jalan-Jalan di Masa lalu Indonesia

Museum Perjuangan dan Museum Pusat TNI AD “Dharma Wiratama” menyimpan kisah perjuangan pahlawan untuk memerdekakan Indonesia. Pengunjung dibawa bernostalgia dengan kehidupan pada masa perjuangan.     

 

            Jika anda bosan ke Yogyakarta karena destinasi wisata yang ditawarkan hanya itu-itu saja, coba anda melakukan perjalanan yang berbeda. Tidak perlu membawa bekal banyak, cukup Rp. 20.000,00 saja.

            Jogja memiliki transpotasi umum yang cukup murah, Trans Jogja. Hanya Rp. 3000,00 sudah bisa mengantakar wisata untuk berkeliling di berbagi tempat wisata. Yang perlu diingat ketika naik Trans Jogja adalah jangan turun halte sebelum sampai di tempat tujuan. Jika kita keluar, kita akan dikenakan biaya lagi. Jangan takut tersesat ketika naik Trans Jogja. Petugas selalu menanyakan kemana tujuan kita dan mereka akan mengarahkan kita.

            Malioboro, Benteng Vredeburg dan Kraton Jogja adalah tempat sering dikunjungi wisatawan. Jika anda bosan, coba pilih tempat wisata lain. Berwisata sekaligus menambah wawasan kebangsaan, kiranya bisa menjadi pilihan. Museum Perjuangan dan Museum Pusat TNI AD “Dharma Wiratama” bisa menjadi pilihan.

            0 km bisa menjadi awal perjalanan. Tidak perlu jauh-jauh menunggu Trans Jogja karena di depan Benteng Vredeburg ada Halte. Tujuan pertama adalah ke Museum Perjuangan. Karena Trans Jogja memiliki beberapa trayek, maka untuk sampai Museum Perjuangan menggunakan 2A. Dari depan Benteng Vredeburg, Trans Jogja menuju Jalan Sugiyono. Perjalanan hanya membutuhkan waktu 10 menit. Bus akan berhenti di Halte Sugiyono depan SD Percobaan atau timur Pojok Beteng Wetan.

            Museum Perjuangan terletak tidak jauh dari Halte Sugiyono. Anda dapat berjalan sejauh 100 meter, di selatan jalan akan terlihat gapura Museum Perjuangan. Museum ini memang agak menjorok ke dalam dari jalan raya.

            Bangunan berbentuk bulat silinder ini mulai dibangun pada tanggal 5 Oktober 1959. Tujuannya adalah untuk memperingati setengah abad kebangkitan nasional. Bentuk Museum Perjuangan ini juga dikenal dengan sebutan Ronde Tempel dan juga merupakan perpaduan arsitektur Barat dan Timur. Pada bagian atas bangunan merupakan ciri khas barat sedangkan bagian bawah yang seperti candi, berlerief, merupakan ciri khas timur. Lebih detail lagi, tanggal kemerdekaan Indonesia juga dilambangkan dari 17 anak tangga, 8 daun pintu dan 45 cendela yang ada di Museum Perjuangan.

Museum Perjuangan memiliki dua lantai. Lantai pertama kita akan disuguhi sejarah Bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Di sini bisa foto-foto dengan patung pahlawan nasional seperti Ahmad Dahlan dan Adi Sutjipto. Di lantai bawah terdapat koleksi foto peristiwa setelah Indonesia merdeka. Dimulai dari Konferensi Meja Budar hingga reformasi tahun 1998.

            Museum yang bertarif Rp. 2000,00 ini ternyata tidak banyak dikunjungi. Menurut keterangan petugas, perharinya paling banyak hanya 5 orang. Tak jarang pula museum ini tidak berpengunjung. Upaya sudah dilakukan oleh pihak museum. Pada tanggal 16-20 Mei 2014, pengurus Museum Perjuangan telah melaksanakan expo bersama beberapa organisasi.

            Selesai berkeliling Museum Perjuangan, saatnya perjalanan dilanjutkan. Kembali ke halte tempat turun tadi, perjalanan dilanjutkan ke Museum Pusat TNI AD “Dharma Wiratama” yang terletak di Jalan Sudirman. Dari Halte Sugiyono ini menggunakan Trans Jogja 2A.

            Perjalanan kali ini lumaya memakan waktu. Trans Jogja harus melewati Jogja sebelah timur. Keuntungannya adalah anda dapat lebih lama istirahat dan muter-muter murah. Jika anda belum pernah ke Jogja, perjalanan selama 45 menit ini bisa dimanfaatkan untuk berbincang dengan warga local. Warga Jogja dikenal dengan keramahannya.

            Halte Cik Ditiro merupakan halte terdekat dengan Museum Pusat TNI AD “Dharma Wiratama” jika menggunakan Trans Jogja 2    A. Cukup menyebarang jalan menuju Jalan Sudirman, anda sudah sampai museum yang dituju.

            Sebelum masuk, anda harus lapor di pos jaga. Anda akan disambut oleh tentara yang sedang berjaga. Katanya masuk museum ini dikenakan biaya Rp. 3000,00, tapi ketika saya masuk ternyata gratis.

Jauh sebelum menjadi museum, gedung ini digunakan untuk rumah dinas pejabat administrator perkebunan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini digunakan sebagai Markas Besar TKR. Panglima TKR pernah mengendalikan komando untuk seluruh Indonesia dari sini. Bahkan pada masa PKI, gedung inimenjadi salah satu saksi bisu.

Museum Pusat TNI AD “Dharma Wiratama” memiliki 21 ruang pameran. Semua ruangan merupakan pameran sejarah TNI dari awal terbentuknya pasukan ini. Di sini anda dapat melihat transformasi TNI. Mulai dari seragam hingga persenjataannya. Kalau anda penasaran merasakan bagaimana bangker, disini juga ada. Bukan hanya alat peraga saja, di sini juga ada cerita dari beberapa pertempuran. Museum ini buka pada Senin-Jumat jam 08.00-14.00 WIB.

Selesai melihat koleksi di Museum Pusat TNI AD “Dharma Wiratama”, jika ingin kembali ke daerah Malioboro, bisa menggunakan Trans Jogja 3A. Cukup sekali saja. Ketika anda mulai perjalanan pada pukul 08.00, anda akan sampai kawasan Malioboro sekitar pukul 14.00. Tentunya perut sudah protes untuk diisi. Pecel di depan Pasar Bringharjo saya sarankan untuk dicoba. Cukup Rp. 6000,00, anda sudah bisa menikmati seporsi pecel. Uang Rp. 20.000 sudah cukup digunakan untuk wisata sekaligus belajar. Selamat mencoba!